Sejarah mencatat PSSI resmi berdiri pada tanggal 19 April 1930. Ketika itu, awal berdirinya PSSI diilhami oleh keinginan luhur. Oleh pemuda-pemuda Indonesia, sepak bola dianggap sebagai sarana efektif untuk menyatukan semangat kebangsaan. Meski begitu, untuk membentuk timnas yang berisikan pemain-pemain Indonesia ternyata bukanlah hal yang mudah. Keinginan tersebut selalu membentur batu karang berupa arogansi pemerintah kolonial Belanda.
Dari beberapa sumber sejarah disebutkan, sejak 1931 sebenarnya PSSI telah mengguliskan kejuaraan sepak bola yang dikenal dengan istilah stedenwedstrijen di beberapa kota di Indonesia. Tetapi, PSSI tetap tak bisa membentuk timnas dengan para pemain dari turnamen tersebut. Pemerintah Belanda yang mendirikan Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) atau asosiasi sepak bola resmi di bawah pemerintahan kolonial, melarang para pemain pribumi yang berlaga di NIVB turun di kejuaraan yang diselenggarakan oleh PSSI. Situasi pelik tersebut berlangsung lama. Tapi hebatnya, dukungan masyarakat terhadap turnamen PSSI terus berkembang pesat. Kejuaraan sepak bola di beberapa kota makin ramai dan pemain-pemain hebat pribumi terus bermunculan.
Pemerintah Belanda pun kebakaran jenggot. Dengan akal bulusnya, mereka membentuk Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) yakni pengganti NIVB yang dikenal lebih terbuka. Pada tahun 1936, NIVU diakui oleh FIFA sebagai satu-satunya organisasi resmi yang ada di Hindia Belanda. Setahun kemudian, NIVU mengakui PSSI sebagai bagian dari organisasi sepak bola tertinggi di Hindia Belanda. Pengakuan itu pun dipatenkan dalam sebuah perjanjian pada 15 Januari 1937. Isi perjanjian itu antara lain akan ada saling pengertian dan kerja sama antara NIVU dan PSSI.
Momentum besar tiba ketika FIFA menunjuk NIVU untuk melakoni laga kualifikasi menghadapi Jepang guna menentukan wakil Asia ke Piala Dunia 1938 di Prancis. Untuk menentukan pemain-pemain terpilih ke Piala Dunia 1938, NIVU mengusulkan kepada PSSI untuk dilakukan seleksi pemain. Cara pemilihan pemainnya diambil dari turnamen segitiga yang diikuti dua tim bentukan NIVU dan satu tim dari PSSI. Tawaran ini diterima oleh Ketua Umum PSSI Soeratin Sosrosoegondo. Selain turnamen segitiga, NIVU juga akan memberikan kesempatan kepada tim PSSI untuk bertanding melawan tim luar negeri yang didatangkan ke Indonesia, yaitu Nan Hwa.
Apa lucur, setelah menggelar pertandingan segitiga, hasil akhirnya tidak mengguntungkan bagi tim-tim NIVU. Tim PSSI lebih dominan. Lalu, pada pertemuan dengan Nan Hwa, dua tim bentukan NIVU harus menelan kekalahan, sedangkan tim PSSI imbang 2-2. Fakta tak mengenakkan itu membuat NIVU ingkar janji. Dengan alasan terdesaknya waktu pembentukan tim, NIVU menawarkan opsi lain. Mereka siap menampung pamain-pemain PSSI asalkan diberikan kekuasaan penuh untuk memilihnya, usulan itu ditolah PSSI. Secara politik, usulan itu mengindikasikan PSSI akan bertanding dibawah bendera Kerajaan Belanda, sesuatu yang dianggap tabu oleh pengurus PSSI ketika itu.
NIVU pun berkeras dengan keputusannya. Sebagai organisasi yang diakui FIFA, mereka merasa lebih berhak menentukan para pemain untuk berangkat ke Prancis. Alhasil pemain-pemain pribumi yang diajak NIVU sebagian besar adalah kaum pribumi yang bekerja di perusahaan Belanda. Mereka berasal dari etnis Jawa, Maluku, Tionghoa, Indo-Belanda. Fakta sejarah inilah yang membuat sebagian publik sepak bola Indonesia tidak mengakui keikutsertaan Indonesia di Piala Dunia 1938 meskipun Hindia Belanda atau Dutch East Indies adalah cikal bakal Indonesia. Tim kala itu bukan representasi Indonesia, melainkan kepanjangan tangan Kerajaan Belanda.
Posting Komentar