Kata siri berasal dari bahasa Arab yaitu sirri atau sir yang berarti rahasia. Keberadaan nikah siri dikatakan sah secara norma agama tapi tidak sah menurut norma hukum, karena pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama.
Kata siri yang berarti rahasia, hal tersebut merujuk pada rukun Islam
tentang perkawinan yang menyatakan perkawinan sah apabila diketahui oleh
orang banyak. Namun etimologi tersebut berubah di Indonesia, nikah siri
berarti nikah yang tidak dicatat oleh negara. Hal ini tertuang pada UU
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tertulis pada Bab I dasar perkawinan
pasal 2 ayat 2: Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Status anak nikah siri karena tidak dicatat oleh negara maka status anak dikatakan di luar nikah. Secara agama, status anak dari hasil nikah siri mendapat hak sama dengan anak hasil perkawinan sah berdasarkan agama yang tidak selaras dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini bertentangan dengan perundang-undangan yang dinyatakan dalam UU No.1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1: Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sehingga risiko akibat ketidaktahuan perempuan terhadap hukum yang berlaku di Indonesia menyebabkannya termasuk golongan yang merugi akibat dari kebodohannya sendiri.
HUKUM NIKAH SIRI DALAM ISLAM
Pengertian
Nikah Siri
Perkawinan adalah aqad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenis
kelamin yang diatur oleh syari’at. Sedangkan pengertian dari ikah siri adalah
nikah secara rahasia (sembunyi-sembuyi). Disebut secara rahasia karena tidak
dilaporkan kekantor urusan agama atau KAU bagi muslim atau kantor catatan sipil
bagi non muslain.
Biasanya nikah siri dilakukan karena dua pihak belum siap meresmikannya
atau meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal
yag tidak dinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah siri adalah nikah
yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA
dengan tiga imam madzab lainnya. Beliau menetapkan bahwa wanita yang telah
baligh dan berakal (dalam kondisi normal) maka diperbolehkan memilih sendiri
calon suaminya. Dia tidak hanya tergantung pada walinya saja. Lebih lanjut
beliau menjelaskan wanita baligh dan berakal juga diperbolehkan aqad nikah
sendiri baik dalam kondisi perawan atau janda.
Bagaimana
Tata Cara Pernikahan Menurut Islam
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan
memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah
Subhanallah. Sehingga mereka yang tergolong ahli ibadah, tidak akan memilih tata
cara yang lain.
Namun di masyarakat kita, hal ini tidak banyak diketahui orang. Kami akan
mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang
hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini kebenaran yang dilakukannya.
Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah mengatur sedemikian rupa.
Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup sampai mewujudkan sebuah
pesta pernikahan.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam secara
singkat.Hal-Hal Yang Perlu Dilakukan Sebelum Menikah
1. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang
wanita untuk menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari
kerabat dekat wanita tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang
tahu benar tentang hal ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut,
agar ia dapat memberikan pertimbangan dengan jujur dan adil.
Begitu pula bagi wanita yang akan
dilamar oleh seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat
dekatnya yang baik agamanya.
2. Shalat Istikharah
Setelah mendapatkan pertimbangan tentang bagaimana calon isterinya,
hendaknya ia melakukan shalat istikharah sampai hatinya diberi kemantapan oleh
Allah Taala dalam mengambil keputusan. Shalat istikharah adalah shalat untuk
meminta kepada Allah Taala agar diberi petunjuk dalam memilih mana yang terbaik
untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan untuk keperluan mencari
jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu
keputusan tentang urusan yang penting. Hal ini untuk menjauhkan diri dari
kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup. Insya Allah ia akan mendapatkan
kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
3. Khithbah (peminangan)
Setelah seseorang mendapat kemantapan dalam menentukan wanita pilihannya,
maka hendaklah segera meminangnya. Laki-laki tersebut harus menghadap orang
tua/wali dari wanita pilihannya itu untuk menyampaikan kehendak hatinya, yaitu
meminta agar ia direstui untuk menikahi anaknya. Adapun wanita yang boleh dipinang adalah
bilamana memenuhi dua syarat sebagai berikut, yaitu:
a. Pada
waktu dipinang tidak ada halangan-halangan.
syari yang menyebabkan laki-laki dilarang memperisterinya saat itu. Seperti
karena suatu hal sehingga wanita tersebut haram dini kahi selamanya(masih
mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami atau ipar dan lain-lain).
b. Belum dipinang orang lain
secara sah
Sebab Islam mengharamkan seseorang meminang pinangan saudaranya. Dari Uqbah
bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak
halal bagi seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan
tidak halal pula meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga
saudaranya itu meninggalkannya." (HR. Jamaah) Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di
atas maka haram bagi seorang laki-laki untuk meminangnya.
4. Melihat Wanita yang Dipinang
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat
wanita yang dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat
laki-laki yang meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan
kejelasan tatkala menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya Dari Jabir radliyallahu
anhu, bersabda : Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka
apabila ia mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk
menikahinya."
Jabir berkata: "Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa melihat apa
yang mendorong aku untuk menikahinya.
Lalu aku menikahinya." (HR. Abu Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan
ini di antaranya adalah:
a. Dilarang berkhalwat dengan
laki-laki peminang tanpa disertai mahram.
b. Wanita yang dipinang tidak boleh
berjabat tangan dengan laki- laki yang meminangnya
5. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat
dan kewajiban yang harus dipenuhi:
a. Adanya suka sama suka dari
kedua calon mempelai.
b. Adanya ijab qabul. Ijab artinya
mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan.
Qabul artinya menerima. Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan
sesuatu kepada lawan bicaranya, kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima.
Dalam perkawinan yang dimaksud dengan "ijab qabul" adalah seorang
wali atau wakil dari mempelai perempuan mengemukakan kepada calon suami anak
perempuannya/ perempuan yang di bawah perwaliannya, untuk menikahkannya dengan
lelaki yang mengambil perempuan tersebut sebagai isterinya. Lalu lelaki
bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
c. Adanya Mahar (mas kawin)
Islam memuliakan wanita dengan mewajibkan laki-laki yang hendak menikahinya
menyerahkan mahar (mas kawin). Islam tidak menetapkan batasan nilai tertentu
dalam mas kawin ini, tetapi atas kesepakatan kedua belah pihak dan menurut
kadar kemampuan. Islam juga lebihmenyukai mas kawin yang mudah dan sederhana serta tidak
berlebih-lebihan dalam memintanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahualaihi wa sallam:
"Sebaik-baik mahar adalah yang paling ringan."
(HR.Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahualaihi wa sallam bersabda:
"Tidaklah sah suatu pernikahan tanpa wali." (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam
Shahih Sunan Abi Dawud.
Wali yang mendapat prioritas pertama di antara sekalian wali-wali yang ada
adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada barulah kakeknya (ayahnya
ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah, kemudian anak saudara
lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidak sah suatu
pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil." (HR.
Al-Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir
oleh Syaikh Al-Albani no. 7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sebelum aqad nikah
diadakan khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah
ataukhuthbatul-hajat.
6. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa sallam kepada
Abdurrahman bin Auf:"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor
kambing." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Abu Dawud no. 1854)
Memenuhi undangan walimah hukumnya juga wajib."Jika kalian diundang
walimah, sambutlah undangan itu (baik undangan perkawinan atau yang lainnya).
Barangsiapa yang tidak menyambut undangan itu berarti ia telah bermaksiat
kepada Allah dan Rasul-Nya." (HR. Bukhari 9/198, Muslim 4/152, dan Ahmad
no. 6337 dan Al-Baihaqi 7/262 dari Ibnu Umar).
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat
maksiat kepada Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah
atau menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak
mampu untuk merubah atau menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat
itu. Dari Ali berkata: "Saya
membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu ?alaihi wa sallam dan
beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar maka beliau
keluar dan bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada
gambar." (HR. An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, oleh Syaikh Muqbil bin Hadi
Al-Wadii.
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya)
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf
ekonominya.
Faktor
Yang Melatarbelakangi Terjadinya Nika Siri
Bermacam alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan nikah
siri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian
pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta
gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal,
hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Adajuga yang tidak mampu
mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu mahal.
Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena
khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk
mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan
jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,
terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati, nikah siri juga
dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-masing pasangan. Pernikahan siri
ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk mempertahankan komitmen. Seharusnya
orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak memfasilitasinya. Nikah
siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau latar
belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut
membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan bikah terlalu mahal sehingga
ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memedulikan aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah hukum yang tidak
direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan yang dinilai berbelit, yang
penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus rela mengeluarkan uang lebih
banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang Perkawinan beserta peraturan
pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau pegawai
negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan
seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu, bagi sebagian
orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan
menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri
(bawah tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi
masyarakat yang berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan
pintas atau alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan
tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak
dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah menurut hukum
atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut
sah. Penulis menyebut fenomena itu sebagai ''kawin alternatif''.
Sah
Tidaknya Nikah Siri Menurut Hukum Agama Dan Hukum Positif Indonesia
1. Hukum Agama
Hukum nikah sirih hukum nikah siri secara agama adalah sah atau legal dan
dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi pada saat
ini nikah sirih digelar. Rukun nikah yaitu 1). Adanya kedua mempelai ,2) adanya
wali, 3) adanay saki nika, 4) adanay mahar atau ma kawin, 5) adanay ijab gobul
atau akad.
2. Hukum
Positif Indonesia
Undang-Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974
diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan
dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9
tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut
UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU
Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada
pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah
atau ijab kabultelah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur
telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut
adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya
perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi
oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan,
tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut
agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai
bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan
hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat
Nikah"). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan
dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9
tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan
menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan
perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup
menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara
pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai
dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana
perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan,
selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian
pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah
tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata
cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk
perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara
menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan
mudah dibaca oleh umum .
Bagaimana
Pandangan Para Ulama Tentang Nikah Siri
Menurut pandangna mahzab hanfi dan hambali suatu penikahan yang sarat dan
rukunya mka sah menurut agama islam walaupun pernikah itu adalah pernikahn
siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi :
artinya “takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang
tuanya ) dengan amanah allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan
mereka dengan kalimat allah(ijab qabul”)(rohil muslaim).
Sedangkan menurut kiayai hisen muhamad seorang komisioner komnas prempuan
mnyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara sirih merupakan
pernikahan terlarang karena pernikahn tersebut dapat merugikan si perempauan,
sedangkan islam jusru melindungi prempuan bukan malah merugikannya.
Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti
itu. Yaitu nikah siri, sebih baik ketimbang berjinah yang sangat dilaknat oleh
Allat SWT.
Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah sirih adalah
Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit
diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual,
tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.
Bagai
Mana Dampak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri Terhadap Perempuan Dan Anaknya
R Valentina, dalam Perihal Perkawinan menulis , dampak yang akan
timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis Formal.
Pertama, perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan
dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan
tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan
Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan
keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan
ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah.
Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak
menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi
anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak
tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan
tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan
membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan
para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada
anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup
bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya
mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan
hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai
bapak (Wila Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan
bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan
perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula
bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya
merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan, seperti juga
pembuatan KTP atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan pelayanan publik
yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga sudah semestinya memperhatikan
prinsip good governance, salah satunya adalah menetapkan biaya yang sesuai
dengan taraf kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak berbelit-belit
(user-friendly). Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang
sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya.
Pengertian
poligami , Nikah Siri dan kawin Kontrak
Poligami adalah uangkapan bagi seorang
lelaki yang beristri lebih dari satu, dan ini dalam ajaran Islam tidak dilarang
meski untuk melakukannya harus memenuhi syarat dan kriteria tertentu. Dalam
perkembangannya poligami terkadang hanya dijadikan alasan oleh sebagian orang
sebagai legalisasi, namun tidak sedikit penganut poligami yang Rumah tangganya
bahagia karena di dasari dengan ajaran Agama yang diyakini kebenarannya.
Nikah Siri adalah sebuah perbuatan dalam
melakukan pernihakan sesuai aturan agama dalam hal ini Ajaran Islam namun
karena berbagai hal yang menghalanginya menjadikan tidak terjadinya pencatatan
secara syah atau legal oleh aparat yang berwenang dalam hal ini Pemerintah yang
di wakili Departemen Agama.
Kawin Kontrak adalah sebuah perkawinan
yang di batasi waktu sehingga akan berakhir sesuai ketentuan waktu yang telah
disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan itu sendiri. Kawin
kontrak yang dalam ajaran Islam di kenal dengan Istilah Nikah Mut’ ah yang
dalam perkembangan syari’at Islam nikah model ini telah dilarang.
Ketiga
type perkawinan tersebut kini telah digodog rancangan undang-undangnya oleh
Pemerintah yang di wakili oleh Departemen Agama dengan sebuah Rancangan
Undang-undang , yang didalamnya diatur bagi orang yang melakukannya akan di kenai
sangsi hukum. Akankah RUU tersebut efektif, mungkinkah ini akan menjadi sebuah
solusi atau hanya akan menjadi masalah baru ? dalam kehidupan masyarakat kita,
setujukah rekan-rekan semua dengan rancangan Undang-undang tersebut, sesuatu
yang di halalkan oleh Tuhan mungkinkah dilarang oleh Manusia, wallahu Alam.
Berikut cuplikan beberapa pasal tentang draft RUU tersebut yang menjadi
kontroversi
Pasal 142 ayat 3 menyebutkan, calon suami
yang berkewarganegaraan asing harus membayar uang jaminan kepada calon istri
melalui bank syariah sebesar Rp 500 juta.
Pasal 143, setiap orang yang dengan
sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah
dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi. Mulai dari enam bulan hingga tiga
tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.
Pasal 144, setiap orang yang melakukan
perkawinan mutah dihukum penjara selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal
karena hukum.
Selain
mengatur tentang Perkawinan Siri, Mutah/Kontrak, RUU ini juga mengatur soal perkawinan
campur (berbeda kewarganegaraan).
wiiih TAKUT DOSA ANE ;))
BalasHapus